Suatu saat, ada seorang teman, yang aku pikir memiliki lidah setajam belati (mudah menyakiti hati orang). Entah kenapa, setiap perkataan yang keluar dari bibirnya selalu menyakiti hatiku. Entah itu disengaja atau tidak. Atau mungkin aku yang terlalu sensitif?
Pada awalnya, aku tidak memperdulikannya. Tapi, lama kelamaan semakin menjadi-jadi pikirku, akupun mulai jengah. Mulai timbul perasaan benci dihatiku, dan itu kian menjadi setiap kali aku bertemu dengannya. Aku mencoba untuk tidak memperdulikannya. Aku mulai mengambil sikap diam, selalu cara ini yang aku pakai jika ada yang tidak aku suka. Namun, entah kenapa sepertinya dia tidak perduli. Dan bahkan tanpa perasaan bersalah, dia masih mengulangi mengucapkan kata-kata yang tidak aku suka darinya.
Lama aku bertahan untuk mengacuhkan perasaan yang aku pendam. Namun suatu hari, aku tak tahan lagi. Gelombang amarah menyergapku. Lalu aku menegurnya dan diikuti sikap dingin. Dan berhasil.
Namun, apakah aku bahagia? Ternyata tidak. Setiap hari aku dilingkupi perasaan berdosa. Perasaan menyesal, bukan karena aku telah kehilangan seorang teman, tapi ternyata aku sama saja seperti dia. Aku telah menyakiti hati orang lain dengan lidahku. Dan aku tidak mampu menarik kembali kata-kata yang telah terucapkan. Ini satu pelajaran bagiku, untuk lebih berhati-hati dalam menjaga lidah dan untuk lebih bersabar menahan emosi. Dan, tidak benar jika kejatahan harus dibalas dengan kejahatan.
Pada awalnya, aku tidak memperdulikannya. Tapi, lama kelamaan semakin menjadi-jadi pikirku, akupun mulai jengah. Mulai timbul perasaan benci dihatiku, dan itu kian menjadi setiap kali aku bertemu dengannya. Aku mencoba untuk tidak memperdulikannya. Aku mulai mengambil sikap diam, selalu cara ini yang aku pakai jika ada yang tidak aku suka. Namun, entah kenapa sepertinya dia tidak perduli. Dan bahkan tanpa perasaan bersalah, dia masih mengulangi mengucapkan kata-kata yang tidak aku suka darinya.
Lama aku bertahan untuk mengacuhkan perasaan yang aku pendam. Namun suatu hari, aku tak tahan lagi. Gelombang amarah menyergapku. Lalu aku menegurnya dan diikuti sikap dingin. Dan berhasil.
Namun, apakah aku bahagia? Ternyata tidak. Setiap hari aku dilingkupi perasaan berdosa. Perasaan menyesal, bukan karena aku telah kehilangan seorang teman, tapi ternyata aku sama saja seperti dia. Aku telah menyakiti hati orang lain dengan lidahku. Dan aku tidak mampu menarik kembali kata-kata yang telah terucapkan. Ini satu pelajaran bagiku, untuk lebih berhati-hati dalam menjaga lidah dan untuk lebih bersabar menahan emosi. Dan, tidak benar jika kejatahan harus dibalas dengan kejahatan.